Minggu, 19 September 2010

VII. Manfaat bagi yang Hidup dan yang Meninggal Dunia

Ketika itu Bodhisattva Mahasattva Ksitigarbha berkata kepada Sang Buddha: "Yang Arya Bhagavan yang termulia! Menurut pendapatku para umat yang berada di alam Jambudvipa selalu berbuat karma buruk yang dihasilkan pikiran dan perbuatannya. Mereka mudah melepas kebaikan-kebaikan yang telah diperoleh, meninggalkan peribadatan yang selama ini telah dilaksanakan dengan baik. Sedangkan jika mereka tergoda oleh hal-hal yang buruk, segera mereka terpengaruh dan keburukan-keburukan yang mereka terima semakin hari semakin banyak pula, bagaikan orang-orang yang dibebani batu melintasi jalan berlumpur, semakin melangkah kakinya semakin terjerembab. Dalam pada itu jika bertemu dengan seorang yang bijaksana (Maitrayani) yang mau membantu meringankan bebannya sebagian atau semuanya, tokoh bijaksana itu memiliki kekuatan yang cukup dan mau membantu umat yang malang itu mengatasi perjalanan di lumpur tersebut dan beliau selalu menasehati agar dapat bertahan hingga tiba di atas jalan yang rata datar dan mawas diri supaya tidak terulang kembali ke jalan yang berat lagi.

Ksitigarbha Bodhisattva melanjutkan: "Yang Arya Bhagavan yang termulia, karma buruk yang dibuat umat manusia, asal mulanya hanya sedikit saja, namun lama kelamaan menjadi banyak tak terbilang lagi. Karena terdapat hal yang demikian itu apabila seorang umat sampai kepada ajalnya, orangtua atau sanak keluarganya perlu mengadakan puja bhakti untuk mengamalkan jasa dan menyalurkannya kepada almarhum dan membantu membuka jalan bagi almarhum. Pada saat seseorang akan meninggal, pasanglah panji atau payung sutra kuning di depan gambar Sang Buddha,dengan demikian almarhum dapat menghindari 8 macam penderitaan dan akan mencapai Surga Sukhavati, atau menyalakan pelita dengan minyak bersih yang diletakkan di atas meja atau di atas petinya, supaya makhluk yang menderita di akhirat mendapat penerangnan dan terbebaskan dari penderitaan. Keluarga almarhum boleh membaca Sutra-sutra Buddha atau menyediakan gambar Buddha atau Bodhisattva yagn digantungkan, lalu menyebut-nyebut nama Buddha atau Bodhisattva dengan suara lantang, supaya setiap nama Buddha atau Bodhisattva tertangkap indera pendengar almarhum, atau Vijnana Nya (kesadarannya) dan dapat diingatnya terus. Jika para umat yang demikian banyak membuat karma buruk selama hidupnya dan akan terjerumus ke dalam alam kesengsaraan, bnerkat jasa-jasa yang diamalkan oleh keluarganya pada saat almarhum akan meninggal dunia, maka karma buruk almarhum akan musnah semua. Seandainya keluarga almarhum tersebut beramal kebajikan selama 49 hari sejak almarhum meninggal dan jasa-jasa itu disalurkan kepada almarhum, maka almarhum tak akan terjerumus ke alam kesengsaraan, tapi akan emnikmati kebahagiaan di Surga, sedangkan keluarga yang berada di dunia itu akan memperoleh keberuntungan besar."

"Oleh karena itu,"lanjut Ksitigarbha Bodhisattva,"aku sekarang dihadapan Sang Bhagavan, Bodhisattva Mahasattva, para dewa, naga asta gatyah, kinnara serta para hadirin sekalian, memberi nasehat kepada para umat di alam Jambudvipa, dalam menghadapi kematian seseorang, jangan melakukan penyembelihan makhluk apapun dan tidak menyembah makhluk halus dan jin-jin untuk menerima sajian penyembelihan itu. Yang demikian itu tidak ada manfaat apapun bagi almarhum, melainkan karma buruk almarhum makin bertambah berat.

Seandainya di masa yang akan datang atau di masa sekarang, sebetulnya almarhum akan mendapatkan anugerah dari para suciwan dan akan dilahirkan di alam manusia atau dewa, berhubung ketika almarhum meninggal dunia, keluarganya melakukan pembunuhan yang disajikan kepada jin-jin dan setan. Mengakibatkan almarhum terlibat dalam karma buruk itu dan harus mempertanggungjawabkan perbuatan keluarganya itu di akhirat sehingga almarhum terhambat dilahirkan di alam yang lebih baik. Apalagi jika mengingat almarhum ketika masih berada di dunia ini sangat sedikit menanam kebaikan-kebaikan, membuat dirinya terikat oleh karma-karma yang pernah diperbuatnya dan menerima semua akibatnya. Dengan demikian seolah-olah keluarganya telah berbuat kejam terhadapnya karena perbuatan perbuatan mereka telah menambah beratnya karma buruk almarhum." Peristiwa ini bagaikan seorang yang datang dari tempat yang jauh dan telah 3 hari kehabisan makanan dan minuman, sedangkan pundaknya masih menanggung ratusan kilo beban, tetangganya yang ditemui di perjalanan malah menambah beberapa barang, dengan demikian semakin berat saja bebannya."

Ksitigarbha Bodhisattva melanjutkan dan meyakinkan pendapatnya: "Yang Arya Bhagavan, jika umat Jambudvipa tersebut dapat membuat kebaikan dengan berpedomankan kepada ajaran Sang Buddha, meskipun kebaikan itu hanya seujung rambut atau setetes air, sebutir pasir, bahkan sebutir debu saja, hasil kebaikan itu semua diterima oleh sepembuat sendiri."

Ksitigarbha Bodhisattva selesai berbicara demikian, dalam pertemuan agung di istana Trayastrimsa terdapat seorang Grhapati bernama Mahapratibhana. Beliau telah lama mencapai Nirvana, akan tetapi dengan tubuh jelmaan sebagai seorang Grhapati, selalu hadir di sepuluh penjuru alam Buddha guna menyelamatkan para makhluk yang sengsara. Sekarang Beliau bangkit dari tempat duduknya dan merangkapkan kedua telapak tangannya seraya bertanya kepada Ksitigarbha Bodhisattva: "Yang Arya Ksitigarbha Bodhisattva! Jika ada umat Jambudvipa yang telah meninggal dan keluarganya, baik tua maupun muda mengadakan amal bhakti dengan berbagai sajian yang dipersembahkan kepada Sang Triratna dan jasa-jasanya disalurkan kepada almarhum. Apakah dengan demikian almarhum akan mendapatkan keuntungan dan kebebasana?"

"Yang Arya Grhapati yang bijak!" jawab Ksitigarbha Bodhisattva: "Berkat daya prabhava Sang Buddha, demi kepentingan semua makhluk di masa sekarang dan yang akan datang, aku akan menjawab pertanyaanmu secara singkat. Yang Arya Grhapati yang baik hati, para umat dari masa apapun, ketika mereka akan menghembuskan nafasnya yang terakhir, dapat mendengar nama Buddha, nama Bodhisattva atau hanya nama Pratyekabuddha saja, tanpa peduli almarhum mempunyai karma buruk atau tidak, ia pasti dapat membebaskan dirinya."

"Jika terdapat umat baik pria atau wanita yang sewaktu masih berada di dunia tidak berbuat kebaikan, melainkan banyak berbuat karma buruk sehingga akibat karmanya banyak sekali. Meskipun keluarganya telah berbuat banyak amal dan jasa-jasanya disalurkan kepada almarhum, namum almarhum hanya mendapat sepertujuh saja dari jasa-jasa tersebut, yang 6 bagian milik keluarga yang berada di dunia. Oleh karena itu pria atau wanita di masa sekarang dan yang akan datang, pergunakanlah kesempatan selama masih sehat dan kuta untuk menanam benih-benih kebaikan sebanyak mungkin demi keberuntungan diri sendiri. Jika tidak demikian, dewa menurut Anitya akan datang sewaktu-waktu merenggut jiwa dan arwahnya terlunta di alam baka tanpa mengetahui dirinya banyak berbuat jahat atau tidak. Selama 49 hari bagaikan orang bisu dan tuli. Atau berada di berbagai bagian untuk memperdebatkan karma-karma yang pernah diperbuat selama ia berada di dunia. Apabila keputusan telah ditetapkan, ia akan menerima kelahiran berdasarkan karma-karmanya. Namun selama belum mendapat kepastian dan harus menunggu dengan berbagai perasaan tak menentu yang menggelisahkan, sungguh merisaukan. Apalagi jika telah dapat mengetahui akan terjerumus ke alam kesengsaraan! Almarhum yang belum menerima keputusan lahir entah di mana, selama 49 hari selalu mengharap-harap keluarganya membuat amal bhakti bagi dirinya, agar secepatnya almarhum terbebaskan dari alam kesengsaraan. Setelah 49 hari almarhum akan menerima keputusan berdasarkan karmanya. Apabila ia ternyata mempunyai karma yang berat, maka ia akan menerima hukuman hingga jutaan tahun dan sulit membebaskan dirinya. Apabila ia membuat karma buruk pancanantarya, jelas ia akan terjerumus ke Neraka Avici hingga ribuan kalpa dan sulit mendapat kesempatan untuk keluar!"

Ksitigarbha Bodhisattva melanjutkan: "Lagi Yang Arya Grhapati yang bijak jika umat yang berkarma buruk tersebut meninggal dunia, sanak keluarganya mengadakan amal bhakti dengan mempersembahkan sajian-sajian kepada Sang Triratna untuk membantu menyelamatkan almarhum dari alam kesengsaraan, selama persiapan dan berlangsungnya upacara Upavasatha, bekas air pencuci beras, sisa-sisa sayur masakan dll, tidak boleh sembarang dibuang di lantai, serta makanan yang dipersembahkan kepada Triratna, sebelumnya tidak boleh dimakan oleh yang menyelenggarakannya. Jika peraturan dan tatacaranya dilanggar, penyajiannya tidak memenuhi syarat kebersihan dan tidak rapi, bagi almarhum tidak akan mendatangkan manfaat apa apa, begitu pula keluarga yang menyelenggarakannya tidak akan mendapatkan kefaedahan apa apa juga. Apabila penyajiannya bersih rapi, dipersembahkan kepada sang Triratna, maka almarhum akan mendapatkan sepertujuh kebajikan, sedangkan yang menyelenggarakan akan memperoleh 6 bagian."

"Oleh karena itu Yang Arya Ghrapati yang bijak, umat di alam Jambudvipa, jika orang tuanya atau sanak keluarganya meninggal dunia, lalu mengadakan upacara upavasatha atau puja bhakti dengan sujud dan khidmat kepada Sang Triratna, baik bagi yang meninggal maupun yang masih hidup akan mendatangkan berkat."

Ketika Ksitigarbha Bodhisattva mengakhiri sabdanya, terdapat jutaan koti Nayuta Makhluk Surga dan bumi yang berasal dari dunia Jambudvipa, semua yang berada dalam pertemuan agung di istana Trayastrimsa itu tergugah bodhicittanya yang tak terhingga. Yang Arya Grhapati Mahaprabtibhanapun memberi hormat kepada Sang Buddha Sakyamuni, lalu kembali ke tempat duduknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar